Sinarbanten.id-LEBAK – Di tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan gaya hidup masyarakat, warga Kabupaten Lebak, Banten, tetap teguh melestarikan tradisi leluhur dengan membuat Bubur Suro setiap tanggal 10 Muharram dalam penanggalan Hijriah.
Tradisi ini bukan sekadar kegiatan tahunan, tetapi menjadi wujud rasa syukur, sarana doa bersama, dan harapan akan keselamatan serta keberkahan bagi keluarga dan lingkungan sekitar. Bubur Suro sendiri merupakan hidangan khas yang terbuat dari beras, santan, dan rempah-rempah pilihan, dimasak dalam jumlah besar untuk kemudian dibagikan secara gratis kepada tetangga dan masyarakat sekitar.
"Membuat Bubur Suro bukan hanya sekadar memasak. Ini adalah bagian dari upaya menjaga warisan budaya, nilai religius, serta solidaritas sosial yang telah mengakar kuat di masyarakat," ungkap Dikdik, warga Kampung Kongsen, Kecamatan Rangkasbitung, saat ditemui pada Minggu (6/7/2025).
Lebih dari sajian kuliner, tradisi Bubur Suro sarat dengan nilai-nilai spiritual. Kegiatan ini menjadi momen penting untuk mempererat silaturahmi, memperkuat rasa kebersamaan, sekaligus bentuk nyata penghormatan terhadap budaya Islam yang berkembang di tanah Sunda.
Hal tersebut juga diamini oleh H. Halim, tokoh masyarakat dari Kecamatan Lebakgedong. Menurutnya, Bubur Suro mencerminkan kearifan lokal yang terus dijaga dari generasi ke generasi.
“Tradisi ini mengajarkan pentingnya berbagi, menjaga hubungan sosial, dan memperkuat nilai keagamaan. Ini adalah warisan yang harus kita jaga bersama,” ujarnya.
Pelestarian Bubur Suro oleh masyarakat Lebak menunjukkan bahwa budaya lokal bisa terus hidup dan berkembang seiring kemajuan zaman. Meski modernisasi tak terelakkan, akar tradisi tetap menjadi identitas yang tak tergantikan.
Red/SN